08 September 2009

Berbagi Cerita dalam Perjalanan ke Kota Tercinta

Sebenarnya cerita ini sudah lama ingin saya tulis. Seminggu yg lalu, tepatnya hari Selasa, 1 September 2009 saya dalam perjalanan pulang ke kampung halaman tercinta, Madiun. Karena saya termasuk salah seorang pengguna kereta api sejati (tsah..) saya memutuskan pulkam dengan naik kereta. Dan entah ini salah satu keanehan saya atau emang dasarnya saya ini "wong ndeso" saya lebih suka (meskipun agak nggak nyaman) naik kereta tipe ekonomi ketimbang bisnis/eksekutif. Rasanya lebih seru aja gitu. Dan cerita ini merupakan salah satu keunggulan atau keunikan naik kereta ekonomi. Cerita di besi tua ini pun dimulai....

Panas tidak terlalu menyengat saat saya sampai di stasiun Tanah Abang. Jam 2 siang kurang. Masih cukup banyak waktu untuk menunggu kereta keberangkatan jam 15.30. Saya berjalan ke loket dan membeli tiket KA Brantas tujuan Madiun, yah.. Rp 37.000 cukup menghemat ongkos pulang lah (ini lg keunggulan kelas ekonomi). Setelah mendapat tiket saya duduk di lobi stasiun dan memandang sekeliling. Tak banyak juga yang antre tiket, tak seperti biasanya. Waktu berlalu, terdengar pengumuman "Bagi penumpang KA Brantas dapat menunggu di peron 3. Kereta akan segera datang." Saya segera turun ke peron 3.

Di dalam kereta, gerbong 8.
Salah satu keunikan bagi pengguna kereta ekonomi adalah kadang2 kita tidak kenal dengan orang yang duduk di depan, sebelah kiri, atau sebelah kanan kita. Dan itulah yg terjadi pada saya. Saya dapat tiket nomor 13C, yang artinya saya akan mendapat tempat duduk 3-3 berhadapan. Pasti 'sumpek' sekali, hufh... Pas saya menemukan tempat duduk saya, sudah ada 3 orang di sana: seorang bapak-bapak, seorang mbak-mbak, dan seorang mas-mas. Hehehe.. nggak enak ya nyebutinnya. Dan selang beberapa lama 5 tempat duduk di sekitar saya sudah terisi. Pembicaraan unik dengan orang-orang yang belum dikenal mulai terjadi. Kami berenam adalah:
  1. Seorang perempuan berjilbab. Ternyata adalah seorang ibu muda berumur 27 tahun asal Solo yang akan pergi ke Kediri, tempat suaminya. Ibu ini punya satu orang anak dan bekerja sebagai baby sitter di Jakarta.
  2. Seorang pemuda. Kira2 seumuran dengan saya, tapi tampaknya lebih tua. Tinggal di Walikukun, Ngawi. Dan di Jakarta bekerja sebagai karyawan di pabrik tahu. Tak banyak yang saya tahu karena dia nggak banyak omong (sama seperti saya).
  3. Seorang bapak paruh baya. Usia 48 tahun, tapi wajahnya kelihatan lebih tua. Tujuan bapak ini Solo. Dan Bapak ini bercerita pada kami kalau dia punya dua istri (satu di Boyolali, satu di Bali). Dia juga bercerita kalau istri pertamanya baru tahu dia menikah lagi 2 tahun terkahir ini.
  4. Seorang perempuan. Ternyata juga seorang ibu dengan anak tertua berusia 17 tahun, padahal ibu ini berusia 32 tahun. Dan dia bercerita pada kami bahwa dia dulu dijodohkan orang tuanya pada usia 14 tahun. Dan sekarang dia menikah untuk kedua kalinya. Orangnya paling rame di antara kami berenam. Banyak kisah gelap di balik kehidupan mbak ini.
  5. Seorang bapak tua lagi. Asal Madura. Kebalikan dengan bapak nomor 3 tadi, walaupun sudah berusia 56 tahun tapi wajahnya kelihatan lebih muda. Kalau bapak yang satu ini punya prinsip: satu istri saja sampai mati, yang langsung di"setuju"i oleh mbak nomor 4.
  6. Saya sendiri. Pemuda berusia 20 tahun.
Bertemu dengan orang2 ini membuat saya tersenyum. Belum begitu kenal, tapi rasanya sudah berteman sejak lama. Khas orang Indonesia. Oh ya, salah satu keanehan lagi adalah kami nggak tahu siapa nama masing2 dari kami.
Hmm... aneh, unik, tapi asik!!

Yah, begitulah. Sekedar berbagi cerita bagi teman2 yang pernah mengalami kejadian seperti itu. Bagi mbak-mbak, bapak-bapak, dan mas di KA Brantas gerbong 8, nomor tiket 12 A, 12 B, 12 C, 13 A, 13 B, dan 13 C... kalau seandainya bertemu lagi masih ingat nggak ya?